Kamis, 13 Juni 2013

SEJARAH DAKWAH RASULULLAH SAW PADA PERIODE MEKKAH DAN MADINAH

BAB I
SEJARAH DAKWAH RASULULLAH SAW PADA PERIODE MEKKAH DAN MADINAH

 
A. Dakwah Rasulullah SAW pada Periode Mekah
Objek dakwah Rasulullah SAW pada awal kenabian adalah masyarakat Arab Jahiliyah, atau masyarakat yang masih beradadalam kebodohan. Dalam bidang agama, umumnya masyarakatArab waktu itu sudah menyimpang jauh dari ajaran agama tauhid,yang telah diajarkan oleh para rasul terdahulu, seperti Nabi AdamA.S. Mereka umumnya beragama watsani atau agama penyembah berhala. Berhala-berhala yang mereka puja itu mereka letakkan diKa’bah ( Baitullah = rumah Allah SWT). Di antara berhala-berhala yang termahsyur bernama: Ma’abi, Hubai, Khuza’ah, Lata, Uzzadan Manar. Selain itu ada pula sebagian masyarakat Arab Jahiliyah yang menyembah malaikat dan bintang yang dilakukan kaum Sabi’in
1. Pengangkatan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul
Pengangkatan Muhammad sebagai nabi atau rasul Allah SWT,terjadi pada tanggal 17 Ramadan, 13 tahun sebelum hijrah (610 M) tatkala beliau sedang bertahannus di Gua Hira, waktu itu beliaugenap berusia 40 tahun. Gua Hira terletak di Jabal Nur, beberapa kilo meter sebelah utara kota Mekah.Muhamad diangkat Allah SWT, sebagai nabi atau rasul-Nya ditandai dengan turunnya Malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu yang pertama kali yakni Al-Qur’an Surah Al-Alaq, 96: 1-5. Turunnya ayat Al-Qur’an pertama tersebut, dalam sejarah Islam dinamakan Nuzul Al-Qur’an.Menurut sebagian ulama, setelah turun wahyu pertama (Q.S. Al-Alaq: 1-5) turun pula Surah Al-Mudassir: 1-7, yang berisi perintahAllah SWT agar Nabi Muhammad berdakwah menyiarkan ajaran Islam kepada umat manusia.Setelah itu, tatkala Nabi Muhammad SAW berada di Mekah (periode Mekah) selama 13 tahun (610-622 M), secara berangsur-angsur telah diturunkan kepada beliau, wahyu berupa Al-Qur’an sebanyak 4726 ayat, yang meliputi 89 surah. Surah-surah yangditurunkan pada periode Mekah dinamakan Surah Makkiyyah.
2. Ajaran Islam Periode Mekah
Ajaran Islam periode Mekah, yang harus didakwahkan RasulullahSAW di awal kenabiannya adalah sebagai berikut:
a. Keesaan Allah SWT
b. Hari Kiamat sebagai hari pembalasan
c. Kesucian jiwa
d. Persaudaraan dan Persatuan
3. Reaksi Kaum Kafir Quraisy terhadap Dakwah Rasulullah SAW
 Prof. Dr. A. Shalaby dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam, telah menjelaskan sebab-sebab kaum Quraisy menentang dakwah RasulullahSAW, yakni:
1. Kaum kafir Quraisy, terutama para bangsawannya sangatkeberatan dengan ajaran persamaan hak dan kedudukan antarasemua orang. Mereka mempertahankan tradisi hidup berkasta-kasta dalam masyarakat. Mereka juga ingin mempertahankan perbudakan, sedangkan ajaran Rasulullah SAW (Islam) melarangnya.
2. Kaum kafir Quraisy menolak dengan keras ajaran Islam yang adanya kehidupan sesudah mati yakni hidup di alam kubur dan alam akhirat, karena mereka merasa ngeri dengan siksa kubur dan azab neraka.
3. Kaum kafir Quraisy menolak ajaran Islam karena mereka merasa berat meninggalkan agama dan tradisi hidup nya bermasyarakat warisan leluhur mereka.
4. Dan, kaum kafir Quraisy menentang keras dan berusaha menghentikan dakwah Rasulullah SAW karena Islam melarang menyembah berhala.
Usaha-usaha kaum kafir Quraisy untuk menolak dan menghentikan dakwah Rasulullah SAW bermacam-macam antara lain:
 Para budak yang telah masuk Islam, seperti: Bilal, Amr bin Fuhairah, Ummu Ubais an-Nahdiyah, dan anaknya al-Muammil dan Az-Zanirah, disiksa oleh para pemiliknya (kaum kafir Quraisy) di luar batas perikemanusiaan.
 Kaum kafir Quraisy mengusulkan pada Nabi Muhammad SAW agar  permusuhan di antara mereka dihentikan. Caranya suatu saat kaum kafir Quraisy menganut Islam dan melaksanakan ajarannya. Di saat lain umat Islam menganut agama kaum kafir Quraisy dan melakukan penyembahan terhadap berhala.Dalam menghadapi tantangan dari kaum kafir Quraisy, Nabi Muhammad SAW menyuruh 16 orang sahabatnya, termasuk di dalamnya Utsman bin Affan dan 4 orang wanita untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), karena Raja Negus di negeri itu memberikan jaminan keamanan.
Peristiwa hijrah yang pertama ke Habasyah terjadi pada tahun (615 M.) Suatu saat keenam belas orang tersebut kembali ke Mekah, karena menduga keadaan di Mekah sudah normal,  dengan masuk Islamnya salah satu kaum kafir Quraisy, yaitu Umar bin Khattab. Namun, dugaan mereka meleset, karena ternyata Abu Jahal labih kejam. Akhirnya, Rasulullah SAW menyuruh sahabatnya kembali ke Habasyah yang kedua kalinya. Saat itu, dipimpin oleh Ja’far bin Abu Thalib.
Pada tahun ke-10 dari kenabian (619 M) Abu Thalib, paman RasulullahSAW dan pelindungnya wafat. Empat hari setelah itu istri Nabi Muhammad SAW juga telah wafat. Dalam sejarah Islam tahun wafatnya Abu Thalib dan Khadijah disebut amul huzni (tahun duka cita).
Pada abad ke-5 sejarah dakwah Rasulullah SAW. Di Mekah, bangsa Quraisy dengan segala upaya berusaha melumpuhkan gerakan Muhammad SAW. Hal ini dibuktikan dengan pemblokiran terhadap Bani Hasyiim dan Bani Muthalib (keluarga besar Muhammad SAW.). beberapa pemblokiran tersebut antara lain :
a. Memutuskan hubungan perkawinan.
b. Memutuskan hubungan jual beli.
c. Memutuskan hubungan ziarah-menziarahi.
d. Tidak ada tolong menolong.
Pemblokiran itu tertulis di atas selembar sahitah atau plakat yang digantungkan di Kakbah dan tidak akan dicabut sebelum Muhammad SAW. Menghentikan gerakannya. Selama tiga tahun lamanya Bani Hasyim dan Bani Muthalib menderita kemiskinan akibat pemblokiran. Banyak pengikut Rasulullah yang menyingkir ke luar kota Mekah untuk mempertahankan hidup untuk menyelamatkan diri. Ujian bagi Rasulullah SAW Juga bertambah berat dengan wafatnya dua orang yang sangat dicintainya, yaitu pamannya, Abu Thalib dalam usia 87 tahun dan istrinya, yaitu Khadijah.
Peristiwa tersebut yang terjadi pada tahun ke-10 dari masa kenabian (620 M) dalam sejarah disebut Amul Huzni (tahun kesedihan atau tahun duka cita).Dengan meninggalnya dua tokoh tersebut orang Quraisy makin berani dan leluasa mengganggu dan menghalangi Rasulullah SAW. Mereka berani melempar kotoran ke punggung Nabi, bahkan Beliau hampir meninggal karena ada orang yang hendak mencekiknya. NabiMuhammad SAW. Merasakan bahwa dakwah di Mekah tidak lagi sesuai sebagai pusat dakwah Islam. Oleh karena itu, Beliau bersama Zaid bin Haritsah pergi hijrah ke Thaif untuk berdakwah. Ajaran Rasulullah itu ditolak dengan kasar. Bahkan mereka pun mengusir, menyoraki dan mengejar Rasulullah sambil di lempari dengan batu. Saat itu Rasulullah SAW Sempat berlindung di bawah kebun anggur di kebun Utba dan Syaiba (anak Rabia). Meski demikian terluka, Rasulullah SAW. Tetap sabar dan berlapang dada serta ikhlas. Kesulitan dan hambatan yang terus-menerus menimpa Muhammad SAW. Dan pengikutnya dihadapi dengan sabar dan tawakal. Saat mengahadapi ujian yang berat dan tingkat perjuangan sudah berada pada puncaknya, Rasulullah SAW. di perintahkan oleh Allah SWT untuk menjalani Isra dan Mi’raj dari Mekah menuju ke Baitul Maqdis di Palestina, dan selanjutnya naik ke langit hingga ke Sidratul Muntaha (QS Al-Isra/17:1). Kejadian Isra dan Mi’raj terjadi pada malam 17 rajab tahun ke-11 dari kenabiannya (sekitar 621 M) di tempuh dalam waktu satu malam.Hikmah Allah Swt. Dari peristiwa isra dan mi’raj antar lain sebagai berikut.
1. Karunia dan keistimewaan tersendiri bagi Nabi Muhammad SAW. Yang tidak pernah diberikan Allah SWT. Kepada manusia dan nabi-nabi sebelumnya.
2. Memberikan penambahan kekuatan iman keyakinan Beliau sebagai rasul untuk terus menyerukan agama Allah SWT kepada seluruh umat manusia.
3. Menjadi ujian bagi kaum muslimin sendiri sejauh mana mereka beriman dan percaya kepada kejadian yang menakjubkan itu yang hanya ditempuh dalam waktu semalam.
Peristiwa ini dijadikan olok-olok oleh kaum Quraisy dan menuduh Nabi Muhammad SAW. Sudah gila. Meski demikian, ada orang yang beriman atau percaya terhadap kejadian ini,yaitu Abu Bakar sehingga nama Beliau ditambahkan dengan gelar As Sidik
3.Akhir Periode Dakwah Rasulullah Di Kota Mekah
 Dengan berpindahnya Nabi saw dari Mekkah maka berakhirlah periode pertama perjalanan dakwah beliau di kota Mekkah. Lebih kurang 13 tahun lamanya, Beliau berjuang antara hidup dan mati menyerukan agama Islam di tengah masyarakat Mekkah dengan jihad kesabaran, harta benda, jiwa dan raga.Sebelum memasuki Yatsrib, Nabi saw singgah di Quba selama 4 hari beristirahat, Nabi mendirikan sebuah masjid quba dan masjid pertama dalam sejarah Islam. Tepat pada hari Jumat 12 Rabiul awal tahun 1Hijrah bertepatan pada 24 September 6 M. Mereka mendapat sambutan penuh haru, hormat, dan kerinduan diiringi puji-pujian dari seluruh masyarakat Madinah. Nabi saw mengadakan shalat Jumat yang pertama kali dalam sejarah Islam dan Beliaupun berkhotbah di hadapan muslimin Muhajirin dan Anshar
B. Dakwah Rasulullah SAW pada periode madinah
Pada tahun ke-13 (sesudah Nabi Muhammad diutus,) 73 orang penduduk Madinah berkunjung ke Makkah untuk mengunjungi Nabi dan meminta beliau agar pindah ke Madinah. Melihat kondisi Masyarakat di Mekkah yang memandang Rasulullah sebagai buruan akhirnya nabi memandang bahwa kota Makkah tidak dapat dijadikan lagi pusat dakwah. Karena itu, Nabi pernah mengunjungi beberapa negeri seperti Thaif, untuk dijadikan sebagai tempat pusat dakwah, namun ternyata tidak bisa, karena penduduk Thaif juga memusuhi Nabi. Oleh karena itu, Nabi memilih kota Madinah ( Yastrib  ) sebagai tempat hijrah kaum Muslimin.
1. Faktor –faktor Nabi memilih kota Madinah sebagai tempat hijrah kaum muslimin.
1. Madinah adalah tempat yang paling dekat dengan Makkah.
2. Sebelum jadi Nabi, Muhammad telah mempunyai hubungan yang baik dengan penduduk madinah karena kakek nabi, Abdul Mutholib, mempunyai istri orang Madinah.
3. Penduduk Madinah sudah dikenal Nabi bahwa mereka memiiki sifat yang lemah lembut.
4. Nabi Muhammad SAW mempunyai kerabat di madinah yaitu bani Nadjar.
5. Bagi diri Nabi sendiri, hijrah ke Madinah karena perintah Allh SWT.
2. Dakwah Rasulullah Periode Madinah
a. Penduduk kota Madinah terb\diri dari 2 golongan yang berbeda jauh, yaitu:
1. Golongan Arab yang berasal dari selatan yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj
2. Golongan yahudi, yaitu orang-orang Israel yang berasal dari utara (Palestina)
Dengan hijrahnya kaum muslimin, terbukalah kesempatan bagi Nabi saw untuk mengatur strategi membentuk masyarakat Islam yang bebas  dari ancaman musuh baik dari luar maupun dari dalam.
3.      Hikmah Sejarah Dakwah Rasululah saw Periode Madinah
Hikmah sejarah dakwah Rasulullah saw antara lain:
1.      Dengan persaudaraan yang telah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan kaum Anshardapat memberikan rasa aman dan tentram.
2.      Persatuan dan saling menghormati antar agama.
3.      Menumbuh-kembangkan tolong menolong antara yang kuat dan lemah, yang kaya dan miskin.
4.      Memahami bahwa umat Islam harus berpegang menurut aturan Allah swt memahami dan menyadari bahwa kita wajib agar menjalin hubungan dengan Allah swt dan antara manusia dengan manusia.
5.      Kita mendapatkan warisan yang sangat menentukan keselamatan kita baik di dunia maupun di akhirat.
6.      Menjadikan inspirasi dan motivasi dalam menyiarkan agama Islam.
7.      Terciptanya hubungan yang kondusif
C. Strategi Dakwah Rasulullah SAW pada periode Makkah dan Madinah
a. Strategi Dakwah Rasulullah SAW Pada Periode Mekah
Tujuan dakwah Rasulullah SAW pada periode Mekah adalah agar masyarakat Arab meninggalkan kejahiliyahannya di bidang agama,moral dan hukum, sehingga menjadi umat yang meyakini kebenaran kerasulan nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam yang disampaikannya, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.. Strategi dakwah Rasulullah SAW dalam berusaha mencapai tujuan yang luhur tersebut sebagai berikut:
1.      Dakwah secara Sembunyi-sembunyi Selama 3 - 4 Tahun
Pada masa dakwah secara sembunyi-sembunyi ini, Rasulullah SAW menyeru untuk masuk Islam, orang-orang yang berada di lingkungan rumah tangganya sendiri dan kerabat serta sahabat dekatnya. Mengenai orang-orang yang telah memenuhi seruan dakwah Rasulullah SAW tersebut adalah: Khadijah binti Khuwailid (istri Rasulullah SAW, wafat tahun ke-10 dari kenabian), Ali bin Abu Thalib (saudara sepupu Rasulullah SAW yang tinggal serumah dengannya), Zaid bin Haritsah (anak angkat Rasulullah SAW ), Abu Bakar Ash-Shiddiq (sahabat dekat Rasulullah SAW) dan Ummu Aiman (pengasuh Rasulullah SAW pada waktu kecil).Abu Bakar Ash-Shiddiq juga berdakwah ajaran Islam sehingga ternyata beberapa orang kawan dekatnya menyatakan diri masuk Islam, mereka adalah:
 Abdul Amar dari Bani Zuhrah
 Abu Ubaidah bin Jarrah dari Bani Haris
 Utsman bin Affan
 Zubair bin Awam
 Sa¶ad bin Abu Waqqas
 Thalhah bin Ubaidillah.
Orang-orang yang masuk Islam, pada masa dakwah secara sembunyi-sembunyi, yang namanya sudah disebutkan d atas disebut Assabiqunal  Awwalun (pemeluk Islam generasi awal).
2. Dakwah secara terang-terangan
 Dakwah secara terang-terangan ini dimulai sejak tahun ke-4 dari kenabian, yakni setelah turunnya wahyu yang berisi perintah Allah SWT agar dakwah itu dilaksanakan secara terang-terangan. Wahyu tersebut berupa ayat Al-Qur’an Surah 26: ayat: 214-216. Tahap-tahap dakwah Rasulullah SAW secara terang-terangan ini antaralain sebaga berikut:
1.Mengundang kaum kerabat keturunan dari Bani Hasyim, untuk menghadiri jamuan makan dan mengajak agar masuk Islam. Walau banyak yang belum menerima agama Islam, ada 3 orang kerabat dari kalangan Bani Hasyim yang sudah masuk Islam, tetapi merahasiakannya. Mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ja’far binAbu Thalib, dan Zaid bin Haritsah.
2.Rasulullah SAW mengumpulkan para penduduk kota Mekah,terutama yang berada dan bertempat tinggal di sekitar Ka’bah untuk berkumpul di Bukit Shafa.
Pada periode dakwah secara terang-terangan ini juga telah menyatakan diri masuk Islam dari kalangan kaum kafir Quraisy, yaitu: Hamzah binAbdul Muthalib (paman Nabi SAW) dan Umar bin Khattab. Hamzah bin Abdul Muthalib masuk Islam pada tahun ke-6 dari kenabian, sedangkan Umar bin Khattab (581-644 M).Rasulullah SAW menyampaikan seruan dakwahnya kepada para penduduk di luar kota Mekah. Sejarah mencatat bahwa penduduk di luar kota Mekah yang masuk Islam antara lain:
 Abu Zar Al-Giffari, seorang tokoh dari kaum Giffar.
 Tufail bin Amr Ad-Dausi, seorang penyair terpandang dari kaum Daus.
 Dakwah Rasulullah SAW terhadap penduduk Yastrib (Madinah).Gelombang pertama tahun 620 M, telah masuk Islam dari suku Aus danKhazraj sebanyak 6 orang. Gelombang kedua tahun 621 M, sebanyak 13orang, dan pada gelombang ketiga tahun berikutnya lebih banyak lagi.Diantaranya Abu Jabir Abdullah bin Amr, pimpinan kaum Salamah.
Pertemuan umat Islam Yatsrib dengan Rasulullah SAW pada gelombang ketiga ini, terjadi pada tahun ke-13 dari kenabian dan menghasilkan
•         Bai’atul Aqabah.
 Isi Bai’atul Aqabah tersebut merupakan pernyataan umat Islam Yatsrib bahwa mereka akan melindungi dan membela Rasulullah SAW. Selain itu, mereka memohon kepada Rasulullah SAW dan para pengikutnya agar berhijrah ke Yatsrib.
b. Strategi Dakwah Rasulullah saw Periode Mainah  antara lain:
1.      Membina masyarakat Islam melalui pertalian persaudaraan antara kaum Muhajjirin dengan kaum Anshar.
2.      Memellihara dan mempertahankan masyarakat Islam.
3.      Meletakkan dasar-daar politik ekonomi dan social untk masyarakat IslamDengan diletakannya dasar-dasar yang berkala ini masyarakat dan pemerintahan Islam dapat mewujudkan nagari “ Baldtun Thiyibatun Warabbun Ghafur “ dan Madinah disebut “ Madinatul Munawwarah ”



BAB II
KEPEMIMPINAN  UMAT  ISLAM  PASCA  RASULULLAH  WAFAT


A.    Kondisi Masyarakat Sepeninggal Rasulullah Saw
Dalam catatan sejarah Islam diketahui bahwa Muhammad Saw, selain sebagai rasulullah, juga sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Setelah beliau wafat, fungsinya sebagai rasul tidak dapat digantikan atau dialihkan kepada orang lain. Karena fungsi rasul merupakan hak prerogratif Allah, bukan wilayah kekuasaan manusia. Akan tetapi, sebagai kepala pemerintahan dan pemimpin masyarakat, posisi tersebut harus ada yang menggantikan. Oleh karena itu, pascawafatnya rasulullah Saw, terjadi kebingungan di kalangan masyarakat muslim ketika itu. Bahkan ada di antara mereka yang tidak percaya kalau Muhammad sebagai seorang Nabi utusan Allah, juga bisa wafat. Melihat gejala seperti ini, Abu Bakar mendatangi kelompok tersebut dan langsung berpidato. Dalam pidatonya ia mengatakan “Wahai manusia, siapa yang memuja Muhamad, sesungguhnya Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang memuja Allah, Allah hidup selama-lamanya, tidak akan pernah mati. Untuk memerkuat pidatonya itu, Abu Baar mengutip ayat al-Qur’an surat Âli Imrân ayat 144.
Artinya;
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatang¬kan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Selain itu, dalam situasi seperti ini, muncul beberapa kelompok masyarakat muslim Madinah yang tengah bermusyawarah guna menentukan siapa pengganti Muhammad Saw sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat. Mereka, kaum Anshar tengah mendiskusikan siapa yang akan menggantkan posisi politik dan kepemimpinan Muhammad Saw. Mereka mencalonkan kandidatnya, bernama Sa’ad bin Ubadah. Sementara dari Muhajirin Umar mencalonkan Abu Bakar.
Hasil dari perdebatan tersebut, muncullah Abû Bakar as-Shiddîeq sebagai pemimpin umat Islam. Kemudian dilanjutkan oleh sahabat ‘Umar bin al-Khattâb, ‘Usmân bin ‘Affân dan ‘Alî bin Abî Thâlib. Kepemimpinan para sahabat yang empat ini dikenal dalam sejarah Islam dengan sebutan al-Khulafa al-Rasyidun, yakni para pemimpin peng-ganti yang mendapat petunjuk dari Allah SWT.
B.    Pengertian Khulafaur Rasyidin
Kata Khulafaur rasyidin berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata khulafa’ dan ar-rasyidin Kata khulafa’ adalah bentuk jamak dari kata khalifah Kata khulafa’ berarti banyak khalifah, sedangkan kata khalifah menurut bahasa pemimpin atau pengganti, maksudnya adalah orang yang berada di belakang seseorang. Kata ar-rasyidin adalah bentuk jamak dari kata ar-rasyid. Kata ar rasyidin berarti orang yang mendapat petunjuk (hidayah), sedangkan kata ar-rasyid menurut bahasa berarti orang yang benar, lurus atau pintar, serta arif dan bijaksana.
Jadi pengertian khulafaur rasyidin adalah orang-orang yang ditunjuk sebagai pengganti atau pemimpin yang benar, lurus atau pintar, serta memperoleh petunjuk (hidayah), dan arif lagi bijaksana.
Dalam sejarah, tugas Nabi Muhammad sebagai kepala pemerintahan dan kepala Negara diemban oleh sahabatnya secara berturut-turut. Termasuk penggantinya inilah yang dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin. Secara kebahasaan, Khulafaur Rasyidin berarti para khalifah yang mendapat petunjuk. Keempatnya adalah Abu Bakar (memerintah 632-634 M), Umar bin Khattab (memerintah 634-644 M), Usman bin Affan (memerintah 644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (memerintah 656-661 M).Tidak lama Khulafaur Rasyidin menjadi penerus nabi. Hanya 31 tahun dimulai dari tahun 632 M dan berakhir tahun 661 M. namun 31 tahun tersebut sangat menentukan bagi keberadaan Islam. Masa itu adalah masa konsolidasi dan masa pemantapan dasar-dasar Islam dan peradabannya. Khulafaur Rasyidin yang berhasil menyelamatkan akidah Islam dari pembangkangan kaum murtad dan nabi palsu. Khulafaur Rasyidin pula yang pertama kali berhasil membawa Islam keluar dari kungkungan padang pasir Jazirah Arab untuk menaklukkan Persia, Syam dan Mesir. Sejarah tentu akan lain jika pada saat itu Khulafaur Rasyidin gagal menunaikan tugasnya.
 1. Khalifah Pertama: Abu Bakar Ash-Shiddiq (11-13 H/ 632-634 M)
   a. Proses Pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Ketika nabi Muhammad wafat, nabi tidak berwasiat apapun tentang siapa yang akan menjadi khalifah pengganti nabi. Persoalan yang besar ini beliau serahkan kepada musyawarah umat Islam. Setelah nabi wafat, golongan Anshor bermusyawarah dibalai Bani Sa’idah dipimpin oleh Sa’ad bin Ubadah berpendapat bahwa kepemimpinan umat Islam sepatutnya dipegang oleh golongan Anshor, dari golongan Muhajirin bermusyawarah di masjid Nabawi dipimpin oleh Umar bin Khattab, berpendapat bahwa yang sepantasnya memimpin umat Islam dari golongan Muhajirin.
Perbedaan tersebut dapat didamaikan dengan ucapan dari Abu Ubaidah yang mengatakan “Hai kaum Anshar, kamu adalah orang yang pertama menolong dan membela, maka janganlah pula kamu yang pertama merusakkannya”. Dengan sadar maka bersatulah antara golongan Anshar dan golongan Muhajirin dengan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah secara aklamasi, yang pertama didahului dengan jabatan tangan Umar bin Khattab yang diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain.Keesokan harinya barulah dilakukan baiat umum di Masjid Nabawi . Pidato Abu Bakar setelah dibaiat adalah: “Wahai manusia, saya telah diangkat sebagai Khalifah, padahal saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu, maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik maka ikutilah aku, jika saya berbuat salah maka betulkanlah aku.
b. Keutamaan Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar adalah sahabat Nabi SAW yang paling utama. Pengalamannya amat luas dan jasanya amat besar terhadap agama. Dia adalah seorang bangsawan Quraisy, berkedudukan tinggi dalam kaumnya, hartawan dan dermawan. Jabatannya dikala nabi masih hidup, selain menjadi saudagar yang kaya, ia adalah ahli nasab dan ahli hukum yang jujur. Dia telah merasakan pahit getirnya hidup bersama rasulullah sampai pada hari wafatnya Rasulullah. Ialah yang diserahi untuk menjadi imam shalat, karenanya umat Islam memandang ialah yang paling berhak menjadi khalifah daripada yang lainnya.Selain itu, Abu Bakar adalah orang yang sederhana, jabatannya sebagai khalifah tidak menyebabkannya hidup bermewah-mewah. Ia tidak mau menyalahgunakan jabatannya sebagai penguasa untuk memperkaya dirinya sendiri ataupun keluarganya. Ia meninggal dalam kesederhanaan
c. Jasa-Jasa dan Peninggalan Abu Bakar Ash-Siddiq
Jasa-jasa Abu Bakar adalah:
1). Memberantas nabi-nabi palsu
2). Memerangi orang-orang yang ingkar zakat, yang beranggapan bahwa membayar zakat hanya kepada nabi Muhammad, setelah nabi wafat tidak ada lagi kewajiban.
3). Memberantas orang-orang murtad, yang belum memahami tentang Islam.
4). Menghimpun Al Qur’an atas usulan Umar bin Khattab dengan alasan:
a). Banyak penghafal Al Qur’an yang gugur syahid.
b). Tulisan yang ada di pelepah-pelepah kurma, batu-batu tulang, dikhawatirkan rusak dan hilang.
c). Untuk menjaga kemurnian Al Qur’an, penulisan tersebut diserahkan kepada Zaid bin Tsabit dan disimpan oleh khalifah Abu Bakar.
2. Khalifah Kedua: Umar bin Khattab (13-23 H/ 634-644 M)
   a. Proses Pengangkatan Umar Bin Khattab
Pada tahun 634 M, ketika pasukan muslim sedang bergerak menaklukkan Syam, Abu Bakar jatuh sakit. Saat itulah Abu Bakar berfikir untuk menunjuk satu orang sebagai penggantinya. Pilihannya jatuh pada Umar bin Khattab, pandangannya yang jauh membuat Abu Bakar yakin bahwa Umar adalah yang tepat untuk menggantikannya.
Meskipun begitu, sebelum menentukan Umar, Abu Bakar meminta penilaian para sahabat besar mengenai Umar. Ia bertanya kepada Abdur Rahman bin Auf, Usman bin Affan dan Asid bin Hudhair Al-Anshary, Said bin Zaid, dan sahabat-sahabatnya dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Pada umumnya mereka menyepakati pilihan Abu Bakar. Dengan meninggalnya Abu Bakar pada hari Senin tanggal 23 Agustus 624 M dalam usia 63 tahun, maka pemerintahan Islam langsung dipegang oleh Umar bin Khattab yang telah ditunjuk oleh Abu Bakar dan disetujui oleh seluruh umat Islam secara aklamasi dengan tidak meninggalkan asas demokrasi Islam. Dengan hati yang ikhlas mereka semua ikut membaiat Umar sebagai Khulafaur Rasyidin II. Maka demikianlah, kaum muslim pada tahun 634 M(13 H) membaiat Umar sebagai Khalifah.
b. Keutamaan Umar bin Khattab
Umar adalah seorang yang keras dan tegas. Karena ketegasan dan kekerasannya membedakan yang benar dari yang salah, ia dijuluki dengan “Al-Faruq”, artinya pembeda antara yang benar dan yang salah. Bahkan ia pernah menghukum cambuk anaknya sendiri karena meminum khamr. Bagi Umar, ketegasan pelaksanaan hukum harus dikenakan tehadap siapapun tanpa pandang bulu. Khalifah Umar juga gampang tersentuh hatinya melihat kesusahan umatnya. Ia juga seorang pemimpin yang rendah hati, demi memperhatikan kesejahteraan umatnya, Umar tidak segan-segan meninjau langsung kondisi kesejahteraan umat. Itulah kebijaksanaan Umar saat menjabat sebagai khalifah.
c. Jasa-Jasa dan Peninggalan Umar bin Khattab
1)      Umar bin Khattab membagi daerah Islam menjadi beberapa wilayah atau propinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur:
•         Propinsi Kufah dipimpin Sa’ad bin Abi Waqosh.
•         Propinsi Basrah dipimpin Utbah bin Khazwan.
•         Propinsi Fustat (Mesir) dipimpin Amru bin Ash.
2)  Membentuk dewan-dewan.
3)  Menetapkan tahun Hijriyah sebagai tahun baru Islam.
4) Membangun dan memperindah masjid-masjid seperti: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid Amru bin Ash di Mesir.
 
 3. Khalifah Ketiga: Usman bin Affan (23-35 H/ 644-656 M)
    a. Proses Pengangkatan Usman bin Affan Sebagai Khalifah
Ketika Umar merasakan ajalnya sudah dekat, ia menunjuk enam orang sahabatnya yang terpilih menjadi dewan di zamannya. Salah satu dari sahabat itu dipilih dan yang mendapat suara tebanyak akan menjadi Khalifah. Enam orang calon sebagai penggantinya terdiri dari:
•         Usman bin Affan
•         Ali bin Abi Thalib
•         Thalhah bin Ubaidillah
•          Zubair bin Awwam
•          Sa’ad bin Abi Waqqash
•          Abdurrahman bin Auf.
Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka yang akan menggantikan sebagai Khalifah ketiga. Abdur Rahman bin Auf ditunjuk sebagai ketua panitia pemilihan, sedangkan proses pemilihan adalah musyawarah untuk mufakat.
Pada hari Rabu waktu Shubuh, 4 Dzulhijjah 23 H, Khalifah Umar yang hendak mengimami shalat di masjid mengalami nasib naas. Perutnya ditikam oleh Abu Lu’luah Fairus, seorang budak dari Persia, milik Mughirah bin Syu’ban. Abu Lu’luah menikam Umar karena merasa kesal dengan kata-kata Umar kepadanya sehari sebelumnya.Sesudah Umar wafat, Abdur Rahman bin Auf memulai tugasnya dengan menghimpun pendapat dari anggota dewan dan dari pemuka-pemuka Muhajirin dan Anshar, begitu pula mendengar pendapat dari rakyat kecil. Dari usahanya itu, disampaikan bahwa umumnya kaum muslimin mencalonkan dua orang unggulan yaitu Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam pemilihan timbul kesulitan dalam menetapkan calon Khalifah. Kesulitan tersebut timbul karena:
1). Berdasarkan pendapat umum, mayoritas masyarakat menginginkan Usman bin Affan menjadi khalifah.
2). Di kalangan anggota dewan timbul perbedaan pendapat. Abdur Rahman bin Auf cenderung memilih Usman bin Affan, sedangkan Sa’ad bin Abi Waqosh memilih Ali bin Abi Thalib.
3). Thalhah bin Ubaidillah, salah satu diantara enam calon khalifah masih berada di luar kota, sehingga belum diketahui pendapatnya.
Bekat ketekunan dan kebijaksanaan Abdur Rahman bin Auf, maka terpilihlah Usman bin Affan menjadi Khalifah pada usia 70 tahun pada tahun 23 H (644 M), kemudian Ali-pun mengucapkan baiat kepada Usman bin Affan.Pada hari Rabu waktu Shubuh, 4 Dzulhijjah 23 H, Khalifah Umar yang hendak mengimami shalat di masjid mengalami nasib naas. Perutnya ditikam oleh Abu Lu’luah Fairus, seorang budak dari Persia, milik Mughirah bin Syu’ban. Abu Lu’luah menikam Umar karena merasa kesal dengan kata-kata Umar kepadanya sehari sebelumnya.
b. Keutamaan Usman bin Affan
Usman bin Affan termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam . ia pernah menjadi sekretaris Rasulullah menuliskan wahyu dan di zaman Abu Bakar ia menjadi penasihat Khalifah. Usman bin Affan juga terkenal dengan kesholehan dan kejujurannya dalam agama. Dia pernah menafkahkan sebagian hartanya untuk memajukan Islam. Dia disayangi oleh Rasulullah sampai dinikahkan dengan putrinya Ruqayyah , setelah Ruqayyah wafat dinikahkan dengan putrinya yang lain Ummu Kultsum. Oleh karena itu Usman diberi gelar Dzun Nurain yang artinya mempunyai dua cahaya dan pernah hijrah dua kali ke Habasyah dan ke Madinah.
c. Jasa-Jasa dan Peninggalan Khalifah Usman bin Affan
Jasa-jasanya adalah:
1). Membangun dan memperindah Masjid Nabawi di Madinah.
2). Mengadakan penulisan dan penggandaan Al Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Usmani atau Mushaf al Imam. Panitia penggandaan terdiri dari: Zaid bin Tsabit sebagai ketua dengan anggotanya yaitu Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam. Hasilnya sebanyak lima mushaf, satu disimpan oleh Khalifah Usman, sisanya masing-masing dikirim ke Makkah, Syria, Basrah dan Kufah.
3). Membangun angkatan laut yang tangguh untuk menangkis serangan musuh terutama melawan pasukan Romawi yang ingin merebut kota Iskandariyah
4). Memperluas wilayah Islam sampai ke Armenia, Afrika (Tunisia), Tripoli (Libya) dan Azerbaijan serta kepulauan Cyprus kemudian dilanjutkan ke Konstantinopel, Turki dan negara-negara Balkan (Yugoslavia dan Polandia).
Usman adalah orang yang lemah lembut dan dermawan. Namun dikarenakan  kelembutan dan sifat dermawannya tersebut, Usman bin Affan banyak dimanfaatkan oleh family-familinya dalam menduduki jabatan pemerintahan sehingga terkenal dengan family system. Akhir pemerintahan Usman muncul seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dengan tujuan mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam. Orang tersebut bernama Abdullah bin Saba’ yang menyebarkan fitnah kesana kemari yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Usman oleh Al Ghofiqi.
    4. Khalifah Keempat Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H/ 656 – 661 M)
 a. Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Saat akhir kepemimpinan Khalifah Usman, banyak sekali terjadi fitnah disana sini. Kaum pemberontak mengepung rumah Usman bin Affan. Beberapa sahabat yang utama mengirim putra masing-masing untuk melindungi jiwa Khalifah Usman bin Affan. Setelah pengepungan sampai pada hari ke delapan belas, Usman meminta bantuan kepada Muawiyah dan kepada wali-wali lain. Mengetahui hal tersebut, para pemberontak kian marah dan sebagian mereka masuk kediaman Khalifah Usman. Mereka memukul Khalifah Usman dengan pedang sehingga membawa kematiannya dan merampas hartanya, keadaan kacau dan berbaur antara anti Usman dan pro Usman. Kejadian nista yang menyedihkan itu terjadi pada tahun 35 H (656 H).
Selain itu Ali bin Abi Thalib juga mengirim anaknya Hasan dan Husain untuk ikut melindungi Usman. Namun itu tak mampu mencegah bencana yang menimpa Khalifah Usman. Pembunuhan secara keji ini menyisakan suasana mencekam, terutrama di Madinah. Tidak ada satu pemimpin yang bisa menunjukkan apa yang harus dilakukan. Keadaan ini berlangsung beberapa kali. Beberapa sahabat seperti Zubair bin Awwam dan Tholhah bin Ubaidillah ingin membaiat Ali sebagai khalifah. Namun Ali belum mengambil tindakan apapun. Setelah didesak terus-menerus, akhirnya Ali bersedia dibaiat sebagai Khalifah pada 24 Juni 656 M bertempat di Masjid Nabawi.
   b. Keutamaan Ali bin Abi Thalib
Ali adalah seorang yang zuhud dan sederhana. Ia tidak senang dengan kemewahan hidup, bahkan menentangnya. Ali bin Abi Thalib adalah perwira yang tangkas, cerdas, tangkas, teguh pendirian, dan pemberani. Tak ada yang meragukan keperwiraanya. Berkat keperwiraannya tersebut, Ali mendapat julukan Asadullah yang artinya singa Allah. Karena ketegasannya, ia tidak segan-segan mengganti pejabat gubernur yang tidak becus mengurusi kepentingan umat Islam.
c. Jasa-Jasa dan Peninggalan Khalifah Ali bin Thalib
Jasa-jasanya adalah:
1)      Khalifah Ali mengganti gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman yang kebanyakan dari family-famili khalifah tanpa memperhatikan kemampuan, keadilan dan akhlak mereka (hanya mementingkan pribadinya). Tindakan ini menimbulkan akibat  antara lain munculnya tiga golongan (golongan Ali, golongan Aisyah, dan golongan Zubair dan Tholhah., meletusnya perang Jamal, perselisihan antara Ali dan Muawiyah dan terjadinya perang Shiffin. Akibat dari perang Shiffin ini, muncullah Khawarij dan Syiah.
2)      Menarik kembali tanah milik Negara dan harta baitul Mal yang dibagi-bagikan kepada pejabat dan family-famili khalifah Usman biarpun ditentang oleh para gubernur lama. Kemudian dikembalikan fungsinya untuk kepentingan Negara dan golongan lemah.
3)      Memerintahkan kepada Abul Aswad Ad Duali untuk mengarang buku tentang pokok-pokok ilmu Nahwu (Qoidah Nahwiyah) untuk mempermudah orang membaca dan memahami sumber ajaran Islam.
4)      Membangun kota Kufah yang kemudian dijadikan pusat pengembangan ilmu pengetahuan Nahwu, Tafsir, Hadis dan lain-lain. Pada akhirnya khalifah Ali dibunuh oleh Ibnu Muljam dari golongan Khawarij.
C.       Kebijakan dan Strategi Khulafaur Rasyidin
Kurang lebih 30 tahun para khulafaurrasyidin memimpin umat Islam. Mereka banyak sekali mengambil kebijakan-kebijakan guna menyelamatkan kaum muslimin. Kebijakan-kebijakan itu antara lain:
1.       Memerangi Kaum Murtad
Kematian Rasulullah mengguncang keimanan kaum muslimin. Lebih-lebih mereka yang baru masuk Islam. Hal inilah yang melahirkan orang-orang murtad dan enggan membayar zakat. Hal itu juga yang menyebabkan munculnya nabi-nabi palsu, antara lain Musailamah bin Habib Al-Kadzab dari Yamamah, Tulaikhah dari Bani Asad, Zut Taj Laqit bin Malik dari Oman, Aswad Al Ansi dari Yaman, bahkan ada perempuan yang mengaku nabi bernama Sajah dari Bani Tamim dari Yaman.
Dalam hal menghadapi nabi palsu, Abu Bakar bersikap tegas. Setelah mereka tidak mau bertaubat, Abu Bakar akan mengirim pasukannya dengan panglima terbaiknya untuk memerangi mereka. Peperangan tersebut disebut dengan Perang Riddah, berlangsung pada tahun 633 M.
2.       Pembukuan Al Qur’an
Umar bin khattab merasa khawatir akan banyaknya para sahabat penghafal Al- Qur’an yang gugur di medan perang sebagai syahid, hal itu membuatnya menghadap Abu Bakar untuk mengatakan perlunya mencatat semua hafalan Al Quran para sahabat yang masih hidup, sehingga Al Qur’an dapat diwariskan kepada generasi mendatang. Sesungguhnya Abu Bakar bimbang untuk mengambil keputusan ini, karena Rasulullah belum pernah melakukan pencatatan Al Qur’an, akan tetapi Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar. Akhirnya Abu Bakar mengusulkan Zaid bin Tsabit untuk memimpin pengumpulan Al Qur’an.
Sesungguhnya banyak sekali ragam cara membaca al qur’an , hal itu hampir saja menjadi pencetus perang saudara karena berselisih paham tentang cara membaca Al -Qur’an. Kondisi ini akhirnya dilaporkan oleh Huzaifah al Yamani kepada Khalifah Usman. Khalifah Usman akhirnya melakukan penyeragaman cara baca Al Qur’an. Cara baca inilah yang kemudian dipakai oleh kaum muslimin sampai sekarang. Dalam menyusun cara membaca Al Qur’an ini, Usman berpatokan pada Al Qur’an yang telah disusun oleh Abu Bakar. Khalifah Usman mengharuskan kaum muslimin untuk menggunakan salinan Al Qur’an yang telah disebarkan tersebut, sedang yang lainnya dibakar. Mushaf-mushaf inilah yang dikenal Mushaf Usmani.
3.       Keberhasilan-Keberhasilan Ekspedisi Militer
Dalam perkembangan kaum muslimin harus menghadapi dua kekuatan. Yakni Byzantium dan Sasaniah. Ke wilayah Sasaniah, kaum muslimin diwakili oleh Musannah bin Haritsah yang menyerbu Irak., tinakan ini disusun oleh Abu Bakar yang mengutus Khalid bin Walid untuk membantu Musannah. Sasaniah baru sepenuhnya dikuasai oleh pasukan muslim pada masa Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 637 M ke arah Byzantium, keberhasilan pertama dilakukan oleh Usman bin Zaid dan pasukannya pada masa awal Khalifah Abu Bakar. Setelah itu pengiriman pasukan dilakukan besar-besaran. Ditambah dengan kedatangan panglima Khalid bin Walid setelah sukses merebut Hirrah. Pada tahun 636 M, dalam satu pertempuran dahsyat yang dikenal dengan nama Perang Yarmuk, pasukan muslim membuktikan keunggulannya. Setelahnya Syam, Persia, Mesir, Iskandariyah jatuh ke tangan muslim. Dari sini kemudian pasukan muslim bergerak ke Afrika Utara. Kesuksesan tentara muslim ini salah satunya karena didukung oleh angkatan laut yang kuat yang didirikan pada masa Khalifah Usman oleh gubernur Syam, Muawiyah bin Abi Sufyan.
4.       Penataan Pemerintah
Pada masa pemerintah Khalifah Abu Bakar, sistem pemerintahan masih menganut pada sistem yang pernah diterapkan pada masa nabi Muhammad SAW. Pada masa nabi, sistem pemerintahan bersifat Sentralistik, dimana kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berada pada satu tangan. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab semua berdiri sendiri bahkan terjadi desentralisasi. Setiap wilayah atau daerah memiliki kewenangan mengatur pemerintahan dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat. Untuk itu, Khalifah Umar bin Khattab membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempuna, tanpa mengikuti atau mencontoh sistem pemerintahan yang lain. Pada masa pemerintahannya, terdapat dua lembaga penasehat, yaitu majelis yang  bersidang atas pemberitahuan atau informasi umum, dan majelis yang hanya membahas masalah-masalah yang sangat penting. Untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan, khalifah membentuk beberapa lembaga atau organisasi ketatanegaraan yang didasari atas hasil pemikiran dan ijtihad Khalifah Umar bin Khattab. Organisasi-organisasi  tersebut antara lain, misalnya:
5.      Pembentukan Lembaga Politik (Al Nidzam Al-Siyasiyah) yang meliputi:
1).  Al-Khilafah, sistem ini terkait dengan pemerintahan sistem khalifah.
2). Al-Wizariyah, para wazir atau menteri yang membantu Khalifah dalam urusan pemerintahan.
3). Al-Kitabah, sistem ini terkait dengan masalah pengangkatan seseorang untuk menjabat sekretariat Negara.
•         Al-Nidzam Al-Idary yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan tata usaha administrasi Negara.
•         Al-Nidzam Al-Maly, organisasi keuangan Negara, lembaga ini mengelola masuk keluarnya uang Negara. Untuk itu dibentuk Baitul Mal.
•         Al-Nidzam Al-Harby, yaitu sistem pemerintahan yang berkaitan dengan masalah ketentaraan. Organisasi ini mengurusi masalah ketentaraan, masalah gaji tentara, urusan persenjataan, pengadaan asrama-asrama dan benteng-benteng pertahanan.
•          Al-Nidzam Al-Qadha’i, yaitu sistem yang berkaitan dengan masalah kehakiman, yang meliputi masalah pengadilan, pengadilan banding dan pengadilan damai.
6.      Pengelolaan Keuangan
Dalam hal pengelolaan keuangan dibentuklah Diwan. Diwan adalah bahasa Persia yang berarti daftar atau catatan. Diwan pertama kali dibentuk oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Diwan yang pertama kali dibentuk adalah diwan yang mengurusi pendapatan dan pembelanjaan keuangan daerah. Uang-uang yang mengalir pada Diwan ini berasal dari wilayah taklukan Persia, Syam, Mesir selain itu juga berasal dari zakat, jizyah (pajak) yang dikenakan kepada setiap nonmuslim, dan kharraj (pajak tanah) yang dikenakan atau tanah yang dimiliki nonmuslim.
 D.    Ibrah Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin
Ibrah atau pelajaran yang dapat diambil dari kepemimpinan Khulafaurrasyidin adalah meneladani prestasi-prestasi yang dicapai. Khalifah Abu Bakar As Siddiq merupakan salah satu sosok pemimpin yang tegas dan teguh memegang kebenaran. Khalifah abu bakar as siddiq segera memberantas suatu gerakan yang dinilai menyalahi Islam, tanpa memberi kesempatan gerakan tersebut berkembang.
Khalifah Umar bin Khattab merupakan salah satu pemimpin yang meletakkan dasar-dasar demokrasi dalam Islam. Beliau benar-benar memperhatikan  dan mengutamakan kepentingan rakyat. Dalam pemerintahana beliau pejabat yang benar-benar dapat dipercaya. Khalifah umar bin khattab juga membuka diri untuk menerima suara langsung dari rakyat.
Khalifah Usman bin Affan merupakan salah satu pemimpin yang lemah lembut dan sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya. Beliau lebih suka mengadakan pendekatan persuasif jika terjadi gejolak.
Adapun Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah seorang pemimpin yang disiplin, tegas dan keras dalam membela kebenaran yang diyakininya daripada persatuan. Khalifah Ali bin Abi Thalib juga menjunjung tinggi keputusan yang sudah menjadi kesepakatan mayoritas.
E.    Meneladani Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin yang terdiri atas empat sahabat nabi Muhammad SAW mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Khalifah Abu Bakar As-Siddiq mempunyai karakter lembut dan tegas. Dalam suasana Negara yang kacau, pemimpin yang berkarakter seperti Khalifah Abu Bakar As-Siddiq sangat diperlukan. Dengan kelembutannya, Khalifah Abu Bakar As-Siddiq dapat menginsafkan orang-orang yang terbujuk berbuat makar. Sementara itu, orang-orang yang bersikap merongrong dihadapi secara tegas oleh Khalifah Abu Bakar As Siddiq.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, situasi Negara aman. Dalam kondisi seperti itu perlu pemimpin yang mempunyai karakter seperti Umar bin Khattab yaitu cerdas, tegas dan mengutamakan kepentingan rakyat. Kecerdasan Umar bin Khattab sangat diperlukan untuk membangun dasar-dasar kemasyarakatan yang Islami.
Situasi Negara pada masa Khalifah Usman bin Affan benar-benar sudah aman. Kemakmuran sudah tercapai di segenap lapisan masyarakat. Dalam kondisi seperti itu, karakter pemimpin yang saleh, penyantun, dan sabar sangat diperlukan. Dengan karakter seperti khalifah Usman bin Affan tersebut kemakmuran rakyat dapat tercapai, baik jasmani maupun rohani.
Pada masa peralihan kekuasaan dari khalifah Usman bin Affan kepada Ali Bin Abi Thalib, kekacauan kembali terjadi. Dalam kondisi seperti ini karakter pemimpin yang tegas dan mengutamakan kebenaran sangat diperlukan. Khalifah Ali bin Abi Thalib mempunyai karakter yang tepat. Ketegasan Ali bin Abi Thalib dalam membela kebenaran mirip dengan Khalifah Umar bin Khattab.
BAB III
PERKEMBANGAN ISLAM PADA PERIODE KLASIK (ZAMAN KEEMASAN) PADA TAHUN (650 M-1250 M)
A.       Pada periode klasik (650-1250 M), Islam mengalami dua fase penting:
a. Fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M). Di fase inilah Islam di bawah kepemimpinan para khalifah mengalami perluasan pengaruh yang sangat signifikan, kearah Barat melalui Afrika Utara Islam mencapai Spanyol dan kearah Timur melalui Persia Islam sampai ke India. Masa ini juga ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (di bidang agama maupun non agama) dan kebudayaan. Dalam bidang hukum dikenal para imam mazhab seperti Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ibn Hanbal. Di bidang teologi dikenal tokoh-tokoh seperti Abu Hasan al-Asy’ari, al-Maturidi, Wasil ibn Atha’ al-Mu’tazili, Abu al-Huzail, al-Nazzam dan al-Juba’i. Di bidang ketasawwufan dikenal Dzunnun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj dan lainnya lagi. Sementara dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan kita mengenal al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn al-Haytsam, Ibn Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi;
Dalam fase ekspansi ini kehadiran telah cukup banyak mendapat perhatian dan telah para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih dinegeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q Fatimi dan G.E Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay-Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa islam di Indonesia bermula dari Pantai Coromandel. Sebab menurutnya pada masa Islamisasi kerajaan samudera dimana raja pertamanya (Malik Al-saleh) wafat tahun 1297 M.
Saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari sana tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang ditempat itu.
Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain dikemukakan oleh T.W Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, Bahwa ternyata dipesisir pantai Sumatera telah ada komunitas Muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang diantaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan local. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M.
b. Fase disintegrasi (1000-1250 M)
Sebagaimana yang telah di jelaskan pada bab terdahulu,hanya pada periode pertama pemerintah bani Abbas mencapai masa keemasannya. Pada periode setelahnya pemerintah dinasti ini mulai menurun,terutama di bidang politik yang ditandai dengan perpecahan dan kemunduran politik umat Islam hingga berpuncak pada terenggutnya Baghdad oleh bala tentara Hulagu di tahun 1258 M. Jika menengok sejarah agama-agama, dengan mudah akan dapat diketemukan fakta yang menunjukkan bahwa banyak agama mengalami persebaran hingga keluar jauh dari wilayah asal pertumbuhannya. Bahkan tak jarang, suatu agama justru dapat berkembang dengan jumlah pengikut yang lebih besar di wilayah lain di luar wilayah asalnya. Proses persebaran ini, dapat mengambil pola-pola sebagai berikut:
Pertama, ekspansi, baik melalui kontak langsung maupun hirarkis ; Kedua, pola relokasi. Bersamaan dengan aliran persebaran tersebut, terjadilah proses perubahan dari segi pemahaman maupun praktek yang menunjukkan perbedaan karena faktor lokalitas dan tokohnya. Artinya, banyak agama mengalami perubahan dari aslinya ketika berkembang di wilayah lain. Faktor budaya dan kebiasaan lokal kerap memberi pengaruh terhadap bentuk kepercayaan dan perilaku keberagamaan sehingga muncul fenomena aliran-aliran. Fenomena ini tak terkecuali berlangsung juga dalam tradisi dan komunitas muslim.


BAB IV
PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA / INDONESIA


A.       Sejarah Islam Masuk ke Nusantara
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Karena itu sebagaimana fithrahnya, maka cepat atau lambat akan menyebar keseluruh dunia dan memenuhi alam semesta. Keniscayaan inilah yang kemudian membawanya sampai ke wilayah Nusantara Indonesia.
Kepulauan Melayu-Indonesia terletak dibagian ujung dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Fakta geografis ini sangat penting jika orang mencoba memahami dan menjelaskan islamisasi di kawasan ini. Jauhnya Nusantara membuat islamisasi ini sangat berbeda dengan islamisasi di kawasan umat Islam lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Berlawanan dengan wilayah-wilayah semacam Persia dan India – yang dalam banyak hal mengalami islamisasi setelah ekspansi militer dan kekuatan politik Islam dari Asia Barat – praktis tidak ada satu bagian dari kepulauan Melayu-Indonesia yang mengalami islamisasi seperti itu. Di sisi lain, Islam datang ke Indonesia ketika agama tersebut bukan lagi merupakan agama yang unggul baik secara politik, ekonomi, militer, maupun budaya, tetapi secara umum mengalami masa-masa surut. Konsekwensinya, umat Islam tidak mampu mendesakkan pengaruhnya untuk mentransformasi budaya lokal menjadi konstruk peradaban Islam yang sebenarnya.
Islam bukan merupakan arus yang cukup kuat ketika pertama kali menyebarkan agamanya. Karena itu para sejarawan menyebutkan bahwa, “penyebaran Islam lebih bersifat asimilatif ketimbang revolusioner. Islam datang ke Nusantara bukan melalui penaklukan tetapi melalui jalur perdagangan. Para sarjana dan peneliti tentang proses kedatangan dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia hampir bersepakat dengan kenyataan bahwa islamisasi di kawasan ini umumnya terjadi melalui jalan damai. Tentu saja ada sedikit kasus tentang penggunaan kekuatan oleh penguasa Muslim Melayu-Indonesia untuk mengonversi rakyat atau masyarakat di sekitarnya menjadi Islam, tetapi secara umum pengislaman berlangsung melalui cara-cara damai.
Islam harus banyak berkompromi dengan berbagai elemen tradisi lokal dan bersikap toleran terhadap berbagai tradisi yang asing bagi karakter dasarnya. Oleh karena itu, Islam dianggap sebagai sekedar suatu lapisan tipis dari berbagai simbol yang dilekatkan kepada inti ajaran-ajaran animisme dan/atau tradisi Hindu-Budha, hal ini terutama sekali terjadi di pulau Jawa.
Para sejarawan tidak memiliki kesepakatan tentang kapan tepatnya Islam mulai memasuki wilayah Nusantara. Sebagian besar menyebutkan bahwa Islam pertama kali dikenal di Indonesia sekitar abad ke 3 Hijriah/abad ke 9 masehi atau bahkan lebih awal dari itu. Namun Islam tidak menyebar di seluruh wilayah dalam intensitas yang sama. Pada awalnya Islam tampak berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha, seperti Aceh, Banten, Sumatra Barat, Makassar dan Maluku, serta wilayah-waliyah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu. (lihat J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, dalam DR. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan). Di wilayah-wilayah ini, Islam dapat memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan mempengaruhi secara mendalam kesadaran keagamaan serta hubungan sosial-politik pada penganutnya yang baru.
Dalam sebuah buku yang cukup terkenal, A History of Modern Indonesia; c 1300 to the Present., M.C. Ricklefs, mengatakan bahwa abad ke 14 merupakan babak pertama sejarah Indonesia modern. Ia menyebutkan bahwa elemen fundamental yang menyebabkan periode sejarah sejak sekitar tahun 1300-an, yakni segi kultural dan religius, bahwa Islamisasi Indonesia sejak tahun 1300-an masih terus berlangsung hingga kini. Setidaknya hingga pertengahan abad ke 15, umat Islam bukan saja telah menyebar luas keseluruh kepulauan Indonesia, tapi secara sosial bahkan telah muncul menjadi agen perubahan sejarah yang penting. Meskipun belum sepenuhnya mencapai kepedalaman, mereka misalnya telah banyak membangun apa yang disebut sebagai, “diaspora-diaspora perdagangan” terutama di pesisir pantai. Dengan dukungan kelas saudagar terhadap para ulama, proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan hampir menjadi landscape histories yang dominan di Indonesia ketika itu.

B.        Penyebaran Islam dari Daerah-Ke daerah

Untuk mengelaborasi lebih jauh, penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan internasional, dalam satu dan lain hal, cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang Muslim yang sudah berada di Nusantara sejak paling kurang pada abad ke 7, untuk tetap mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk Islam, penguasa lokal pada batas tertentu mengadobsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perdagangan. Contoh kasus ini adalah konversi penguasa Malaka, Parameswara, yang agaknya menerima Islam demi menarik kedatangan para pedagang Muslim ke pelabuhannya yang baru di bangun.
Sejak saat itu Islam mulai menyebar dan secara alami terjadi proses asimilasi dan akulturasi terhadap budaya lokal. Dalam seminar tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh pada tahun 1978, menyebutkan bahwa Perlak, Lamuri dan Pasai adalah kerajaan Islam yang pertama di Indonesia. Menurut Prof. A. Hasymi, kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada abad ke 3 Hijriah. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan mengenai tahun berdirinya kerajaan tersebut, ada yang menyebutkan 225 H dan yang lain menyebut 227 H. (Lihat Izhhar al-Haqq dan Tadzkirah Thabaqat dalam Prof A. Hasymi. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, PT. Alma’arif, Bandung 1981).
Dalam keterangan Marcopolo mengatakan bahwa, “perlu diketahui bahwa Perlak selalu disinggahi saudagar Arab, sebab di kerajaan Perlak ini mereka telah mengislamkan penduduknya.”
Selanjutnya Prof. A. Hasymi menulis, pada tahun 173 H sebuah kapal layar telah berlabuh di Bandar Perlak, membawa angkatan dakwah dibawah Nakhoda Khalifah, yang datang dari Teluk Kambay Gujarat, pada tanggal 1 Muharram 225H Kerajaan Perlak di Proklamasikan menjadi sebuah kerajaan Islam dan Sayid Abdul Aziz dilantik menjadi raja dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Angkatan dakwah yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Salah seorang dari mereka adalah Sayid Ali dari suku Quraisy yang kawin dengan seorang putri Perlak yaitu Makhdum Tansyuri adik dari Meurah (kepala suku) Perlak yang bernama Syahir Nuwi, adalah anak dari Pangeran Salman yang datang ke Perlak 50 tahun sebelum kedatangan angkatan dakwah tersebut. Jadi dapat diduga bahwa Islam masuk ke Aceh pada awal abad ke dua Hijriah atau akhir abad pertama Hijriah.
Dari perkawinan Sayid Ali dengan Makdum Tansyuri lahirlah Sayid Abdul Aziz. Dari sini dapat kita telusuri bahwa silsilah Sayid Abdul Aziz adalah Abdul Aziz bin Ali bin al-Muktabar bin Muhammad ad-Diba bin Jakfar Shiddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain asy-Syahid bin Ali bin Abi Thalib/Fathimah binti Rasulullah Saw.
Sejak saat itu penyebaran Islam dari daerah ke daerah mengalami perkembangan yang pesat. Sejumlah kerajaan seperti kerajaan Pasai, kerajaan Aceh sampai ke Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Pariaman juga menerima Islam.
Di Pasai pada pemerintahan Raja Meurah Silu (al-Malik as-Saleh) yang memerintah Samudra Pasai pada tahun 650-688 H / 1261-1289 M menunjukkan bahwa beliau adalah keterunan Raja Perlak, yaitu Makhdum Sultan malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (365 - 402 H / 976 – 1012 M). Pada masa kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir tahun 727-750 H/1326-1345M, Samudera Pasai memainkan peranan dalam perkembangan Islam di Jawa dan Sulawesi.
Sejak saat itulah di wilayah kerajaan-kerajaan Aceh berdatangan sejumlah ulama dari Arab yang mengajarkan Islam. Di antaranya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Quraisy atau Syekh Nuruddin ar-Raniry, dari Gujarat, India. Tahun 1031 H/1621 M belajar ke Tarim, Hadramaut, kemudian melanjutkan ke Mekkah dan Madinah. Nuruddin ar-Raniry adalah pengikut Tarekat Rifaiyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i. Ia masuk terekat tersebut atas rekomendasi dari Sayid Abu Hafis Umar bin Abdullah Basyaiban dari Tarim. Sedangkan Basyaiban di rekomendasi oleh gurunya Sayid Muhammad Alaydrus yang lahir tahun 1561 M. di samping ulama seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani (1638 M), dan Abdurauf Singkel (1693 M)
Di Sumatra bagian Selatan menurut Ahmad mansyur Suryanegara dalam makalah yang berjudul Masuknya Agama Islam ke Sumatra Selatan, menulis bahwa, pertama. Penguasaan jalan laut perdagangan oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Jauh sebelumnya bangsa Arab telah mengusai samudra India atau Samudra Persia. Sekitar abad ke 10 navigasi perdagangannya sudah sampai ke Korea dan Jepang, di tengah perjalanan di Selat Malaka mereka berhubungan dagang dengan Zabaj (Sriwijaya), karena suluruh kapal yang melewati Selat Malaka singgah mengambil perbekalan di bandar Sriwijaya. Kedua, dapat dipastikan bahwa Islam masuk di daerah Sriwijaya pada abad ke-7. hal ini mengingat cerita buku sejarah Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti Tang memberitakan tentang utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 M. dari sana dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah terjadi proses Islamisasi. Apalagi disebutkan bahwa pada zaman Dinasti Tang telah dikabarkan bahwa telah ada perkampungan Arab Muslim di pantai barat Sumatra pada tahun 674 M. ketiga, Para penulis seperti Ibnu Batuta (900M), Sulaiman (850M), dan Abu Said (950 M) menyebutkan bahwa sejak kekhalifahan Umayyah (661-750M) dan Abbasiyah (750-1268M) hubungan dagang mereka telah samapai ke wilayah kekuasaan Sriwijaya. Juga di saat yang sama para pedagang Sriwijaya telah berlayar ke negara-negara Timur Tengah.
DR. taufiq Abdullah dalam makalahnya yang berjudul beberapa Aspek Perkembangan Islam di Sumatra Selatan, menulis. “….setidaknya sejak akhir abad ke 16 Palembang merupakan salah satu enclave Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan ‘pulau emas’ ini. Ini bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka. Ini berarti proses Islamisasi telah terjadi jauh sebelumnya…”
Salman Aly di dalam makalahnya yang berjudul Sejarah Kesultanan Palembang, menulis. “Pada waktu Gede Ing Suro mendirikan kesultanan Palembang, agama Islam telah lama ada di kawasan ini kira-kira pada tahun 1440 M…orang-orang Arab di masa ini terdapat sekitar 500 jiwa yang kebanyakan tinggal di tepi Sungai Musi…”
Di masa Sultan Muhammad Mansur, terdapat seorang ulama yaitu Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Fakih Jalaluddin yang berjasa menyebarkan agama Islam di daerah Komering Ilir dan Komering Ulu bersama-sama dengan ulama lainnya yaitu Sayid al-Idrus yang sekaligus merupakan nenek moyang masyarakat dusun Adumanis.
Di pulau Jawa, menurut laporan sejarawan bahwa Islam sampai pada abad ke 13. dokumen yang paling awal yang dianggap dapat dipercaya bagi penyebaran Islam di tanah Jawa ialah ditemukannya batu nisan makam fathimah binti Maimun (1082) di desa Leran, Gresik, Jawa Timur. Lihat G.W.J. Drewes, “New Ligh on the Coming of Islam in Southeast Asia dalam Ahmad Ibrahim et al (eds), Reading on Islam in Southeast Asia (Siangapore; Institute of Southeast Asian Studies, 1985), h. 7 – 19. dan lihat juga, “Makam Siti Fathimah binti Maimun; awal sejarah Gresik terlupakan”, Kompas, 10 Mei 2002, h. D (Suplemen Jawa Timur).
Dalam buku Sejarah Tanah Jawa karangan Fruin Mees, jilid II halaman 8, dikatakan sebagai berikut; “Sunan Kalijaga hidup pada awal abad ke enam di Kerajaan Kadilangu, Demak. Di sana terdapat sebuah masjid terkenal yang didirikan pada tahun 874 H (1468M). sebelum itu Demak di namakan Bintara. Maka di pastikan di masa sebelum itu Islam telah ada di sana…”
Seluruh sejarawan menyebutkan bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa adalah para wali sembilan yang lebih terkenal walisongo. Tokoh yang paling utama dan tertua dari sembilan wali adalah Maulana Magribi atau Maulana Malik Ibrahim. Beliau datang ke pulau Jawa dan menetap di sebuah desa yang bernama Leran, terletak di luar kota Gresik. Kota Gresik pada saat itu merupakan kota pelabuhan perdagangan yang sering dikunjungi oleh para pedagang dari luar negeri. Ketika sampai di Gresik Maulana Malik Ibrahim menghadap ke Raja Majapahit untuk menyatakan maksud kedatangannya untuk berdakwa dan sekaligus mengajaknya masuk Islam. Oleh Raja Majapahit beliau diberi sebidang tanah di desa Gapura, Gresik sebagai tempat mengembangkan agama Islam. Tanah itu kemudian dikenal dengan nama “tanah perdikan”. Di atas tanah itu didirikan sebuah Masjid untuk pusat kegiatan ibadah dan dakwah.
Berdasarkan tulisan yang ditemukan pada batu nisan Maulana Malik Ibrahim, beliau wafat pada tahun 1419 M. dalam riwayat hidupnya, beliau berdakwa di Gresik selama 20 tahun. Jadi dapat diduga bahwa beliau mulai menetap di Gresik pada tahun 1399 M. Tepatnya, beliau meninggal pada tanggal 12 Rabiul awal tahun 882 H/1419 M.
Menurut Prof. DR. Hamka, Maulana Malik Ibrahim datang dari Kasyan, Persia, dan seorang bangsa Arab keturunan Rasulullah. Hal yang sama dibenarkan oleh Prof. DR. Hoessein Djajadiningrat, bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad Saw. AF. Martadji menuliskan bahwa nasab beliau adalah sebagai berikut; S. Maulana Malik Ibrahim bin S. Zainal Alam Barakat bin S. Jamaluddin Husein bin S. Ahmad Basya bin S. Abdullah Syahin Syah bin S. Abdul Malik bin S. Alwi bin S. Muhammad Sahib Mirbat bin S. Ali Khali Qasam bin S.Alwi bin S. Muhammad bin S. Alwi bin S. Abdullah Ubaidillah bin S. Ahmad Muhajir bin S. Isa bin S. Muhammad bin S. Ali Uraidhi bin S. Ja’far Shadiq bin S. Muhammad al-Baqir bin S. Ali Zainal Abidin bin S. Sayyidina HUsein bin S. Sayidina Ali/Siti Fathimah binti Rasulullah Saw.
Demikian juga dengan para walisongo lainnya, seperti Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang pada tahun 1479 berhasil mendirikan Masjid Agung Demak. Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan Rajanya Raden Patah yang direstui oleh Sunan Ampel. Sunan Berikutnya adalah Sunan Giri atau Sultan Abdul Faqih atau lebih dikenal dengan nama Ainul Yaqin lahir pada 1365, yang juga masih keturunan Rasulullah. Beliau berdakwa di daerah Blambangan. Di Kudus ada Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq, beliau dijuluki “waliyul ilmi”. Sunan Kudus mendirikan Masjid al Manar/al-Aqsa di Kudus pada tahun 965 H / 1549 M. Menurut Prof DR. Hamka, “Sunan Kudus adalah keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib dan memakai juga nama moyangnya Ja’far Shadiq imam ke empat menurut kepercayaan kaum Syiah dan menurut Babat Tanah Jawa. Nama belaiu waktu kecil adalah Untung. Beliau bekerja keras menyiarkan agama Islam berpusat di satu tempat yang diberui nama Quds (tempat suci), diambil dari nama negeri Bait al-Muqaddas sendiri, sebab dari sana konon beliau datang…”
Demikian halnya dengan Sunan Bonang atau Maulana Makdum Ibrahim, Sunan Drajat atau Syarifuddin Hasyim, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, Sunan kalijaga atau Muhammad said, dan Sunan Muria atau Raden Said bin Raden Syahid. Seluruh walisongo adalah putra-putra keturunan Nabi Muhammad Saw. Dengan perjuangan dalam dakwah mereka yang tidak mengenal lelah maka hampir seluruh Tanah Jawa dapat di Islamkan.
Di Kalimantan kerajaan tanjungpura pada masa Raja Sorgi yang bergelar Giri Kusuma menerima seorang ulama Islam yang bernama Syekh Husein. Karena tertarik dengan ajarannya maka Raja segera memeluk Islam. Syekh Husein kemudian di kawinkan dengan putri dari sepupu Raja Kusuma dengan perjanjian bahwa jika Syekh Husein mandapatkan anak laki-laki dari perkawinan itu dan raja Kusuma mendapatkan anak perempuan atau sebaliknya, maka mereka akan dikawinkan, karena kepada merekalah nantinya tahta kerajaan akan diwariskan.
Syekh Husein dari pernikahan itu mendapat anak yang diberi nama Syarif Hasan. Ketika raja Kusuma meninggal 1604 M, Syarif Hasan diangkat menjadi raja setelah sebelumnya menikah dengan Putri Raja. Sejak saat itu Islam berkembang dengan pesat hingga masa pemerintahan Sultan Zainuddin II.
Di Pontianak rombongan para pendakwah Islam yang datang dari kota Tarim, Hadramaut, diantaranya adalah habib Husein al-Gadri. Setelah berdakwa sekitar 3 tahun di daerah Pontianak datanglah utusan dari raja Mempawa yang bernama Opu Daeng Menambon (keturunan Raja Luwu Sulawesi Selatan yang kawin dengan Ratu Mas Indrawati Putri Sultan Zainuddin II dari Raja Tanjungpura) untuk menjemput Habib Husein al-Gadri. Tanggal 8 Muharram 1160 H dengan 5 buah perahu berangkatlah ke Mempawa.
Di Mempawa Habib Husein al-Gadri sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhijjah 1184 H, beliau menikahkan Putranya yang bernama Syarif Abdurrahman dengan Putri raja Mempawa Utin Cendramindi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar diangkat menjadi Pangeran Sayid Abdurahman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein al-Gadri.
Kerajaan terbesar setelah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah kerajaan di Sulawesi adalah Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa berdiri sekitar tahun 1300 an. Sebagai kerajaan di pesisir selat Makassar yang merupakan salah satu lintas laut perdagangan yang paling ramai. Maka hubungan dengan dunia luar tercipta baik dalam urusan ekonomi, sasial, politik, budaya dan agama.
Sulaiman as-Sirafi, pengelana dan pedagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persia mengatakan bahwa di Sili terdapat beberapa orang Islam, yaitu sekurang-kurangnya pada akhir abad ke 2 Hijriah. Hal ini sesuatu yang telah pasti dan tidak butuh pen-tahqiq-an lagi karena perdagangan rempah-rempah dan wangi-wangian yang berasal dari kepulauan Maluku pasti membuat pedagang-pedagang Muslimin sering berkunjung ke sana dan ketempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan ini. Menurut Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad bin Thalib ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama Syaikh ar-Rabwah dalam bukunya Nukhbah ad Dhar bahwa kepulauan Sili atau Sulu adalah Sulawesi. Lebih lanjut beliau mengatakan, “sekelompok Alawiyin telah memasuki pulau-pulau itu di waktu mereka melarikan diri dari kejaran golongan Bani Umayyah. Mereka lalu menetap dan berkuasa di sana sampai mati dan dikuburkan di daerah itu …”
Islam mulai diterima secara resmi dalam struktur kerajaan sekitar tahun 1500 an, pada masa Raja Gowa ke IX yang bernama Daeng Mantanra Karaeng Tamapa’risika Kallonna. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya Masjid yang dibangun pertama kali di daerah Manggalekanna tahun 1538 M. Pada masa pemerintahan Raja I Manga’rangi Daeng Manrobbia yang bergelar Sultan Alauddin di datangkanlah 3 orang ulama yang berasal dari Sumatra, yaitu:
1. Khatib Tunggal Abdul Makmur digelar Dato’ri Bandang dan menjadi penyebar agama di daerah Makassar
2. Khatib Sulaiman yang digelari Dato’ri pattimang yang terutama menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Luwu
3. Khatib Bungsu yang digelar Dato’ri Tiro menjadi penyebar agama di daerah  Bulukumba.
Kerajaan Gowa di Selatan dan Keraajaan Luwu di Daerah Utara Sulawesi Selatan menjadi pusat penyebaran Islam sejak Islam di jadikan sebagai agama resmi kerajaan, sehingga hampir seluruh Sulawesi Selatan kecuali Tana Toraja memeluk agama Islam.
Raja Gowa ke 32,33 dan ke 36 memakai gelar Aidid di belakang namanya. Mereka adalah keturunan dari Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid al-Aidid seorang ulama dari Hadramaut yang datang dari Aceh. Menurut cerita, pada abad ke 17 yaitu sekitar tahun 1632 M, telah datang di desa Cikoang, di Semenanjung Laikang pesisir selatan Sulawesi Selatan, seorang Sayid yang berasal dari Hadramaut bernama Sayid Jalaluddin bin Muhammad Wahid al-Aidid. Di Cikoang Sayid Jalaluddin mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Sebelum tiba di desa Cikoang, beliau terlebih dahulu menyiarkan Islam di Kutai, Kalimantan. Di Kutai beliau kawin dengan seorang Putri bangsawan Gowa. Dari perkawinannya tersebut kini tidak kurang dari 200 orang kepala keluarga yang bergelar sayid. Mereka sering menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlulbait yang maksudnya keturunan dari nabi Muhammad Saw. Disebutkan bahwa Syekh Yusuf al Makassari ulama terkemuka Nusantara abad ke 17 sebelum berangkat belajar ke Timur Tengah terlebih dahulu beliau belajar kepada Sayid Jalaluddin al-Aidid dan Sayid Ba’alawi bin Abdullah al-Allamah Al-Thahir yang hidup di Bontoala. Setalah berdakwa sekitar 30 tahun di wilayah Makassar dan sekitarnya Sayid Jalaluddin melanjutkan perjalanan dakwah ke Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara, sedangkan keluarga dan keturunannya di tinggalkan di Cikoang. (lihat, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, DR. Muhammad Syamsu, As, Lentera. Dan, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Prof. Azyumardi Azra, Mizan).
Diantara ajaran Sayid Jalaluddin yang dapat dilihat hingga hari ini adalah Maulud Nabi Muhamamad saw yang disebut “tradisi Maudu Lompoa”. Pada masa pemerintahan Sayid Ja’far Ash-Shadiq al Aidid menjadi Raja Gowa, maka tradisi Maudu Lompoa di tetapkan sebagai hari besar agama yang sangat penting sampai sekarang. Acara ini digelar selama 18 hari sejak 12 Rabiulawal sampai 30 Rabiulawal. Pelaksanaannya dilaksanakan secara langsugn oleh “ 40 Anrongguru” yakni guru-guru makrifat yang terdiri dari para sayid keturunan Sayid Jalaluddin al-Aidid.
Di Sulawesi Tengah penyiaran Islam di bawa oleh ulama dari Bugis keturunan Hadramaut. Diaantaranya ialah Sayid Zen al-Idrus serta Syarif Ali yang kawin dengan Saeran putrid bangsawan Buol, Toli-Toli. Tahun 1666 M syarif Ali bersama dengan putranya yang bernama Syarif Mansur yang gigih dalam berdakwa bertempur dengan Belanda. Setelah perjuangan panjang itu berlalu Syarif Mansur berserta 40 orang pengikutnya memasuki kota Manado.
Dalam kurun waktu berikutnya seorang ulama Arab bernama Habib Idrus bin Salim al-Jufri. Menurut cerita seorang tua bermarga al-Hamid yang di lahirkan di daerah Makassar menyebutkan bahwa Habib Idrus berangka ke Palu atas petunjuk gurunya di Pekalongan yaitu habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas. Habib Idrus mengajarkan Islam kepada penduduk Palu. Atas usaha tersebut dengan bantuan murid-muridnya dan masyarakat setempat di bangunlah sebuah madrasah/pesantren yang di beri nama “al-Khaerat”. Kemudian di resmikan sebagai Lembaga Pendidikan al-Khairat pada tanggal 30 Juni 1930 Masehi bersamaan dengan 14 Muharram 1349 Hijriah.
Di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara pada abad ke 18 Rajanya adalah seorang pemeluk agama Kristen, karena penjajah asing. Bernama Yakob Manoppo. Pada zaman pemerintahan Cornelius Manoppo sejumlah ulama keturunan Arab yang dating dari Makassar karena hubungan dan pengaruh dakwah yang kuat akhirnya Raja Yakob Manoppo tanpa keraguan memeluk agama Islam. Demikian di tulis Prof Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam jilid IV.
Kemudian seorang ulama keturunan Arab yaitu Sayid Umar bin Salim bin Jindan kemudian menikah dengan putrid kerajaan Bolaang Mongondow yang bernama Launa (saudara dari Loren Manoppo). Lalu Sayid Umar di angkat menajdi kepala daerah di daerah Sangaji.
Di Maluku, sejak abad ke 10 dan 11 perniagaan rempah-rempah terutama cengkeh dan pala adalah primadona. Para pedagang dari Arab dan Persia sudah keluar masuk sambil menyampaikan penyebaran agama Islam. Diceritakan bahwa di Ternate telah dating seorang ulama Islam yang bernama Datu Maulana Husein. Ulama ini sangat pandai membaca al-Quran dengan suara merdu sehingga pendduk tertarik untuk mendengarkan. Tetapi oleh Maulana Husein memberikan syarat bahwa setiap yang ingin mendengarkan bacaan Qurannya harus lebih dahulu mengucapkan dua kalimah syahadah, sehingga sejak saat itulah penduduk Ternate mulai memeluk agama Islam. Raja Ternate saat itu adalah Gapi Buta menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Zainal Abidin (1465-1486 M).
Sumber sejarah lama dan cerita rakyat secara tradisional menyebutkan bahwa semua sultan yang memerintah di empat kerajaan utama di maluku Utara berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Jakfar Shadiq yang sampai di Ternate pada tanggal 10 Muharram 470 Hijriah (kira-kira 1015 M) kawin dengan Nur Safah. Dari pernikahannya dikarunia delapan orang anak empat putra dan empat putri. Dari ke empat putranyalah yang memerintah 4 kerajaan di daerah Maluku, yaitu; Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. (Lihat Beberapa Segi Sejarah Daerah Maluku, Drs. Bambang Soewondo, h. 40-42, Dept. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. 1978).
Secara keseluruhan daerah kepulauan Maluku seperti Hitu, Jadi, Kepulauan Kei terjadi sejak tahun 1500 an. Sampai pada tahun 1580 Sultan Babullah telah meluaskan kekuasaannya ke pulai-pulau sekelilingnya, sehingga dari Pulau Mindanau ( Pilipina) hingga Pulau Sumbawa, serta dari Irian hingga ke Sulawesi Tenggara.
Di Bali tidak ada keterangan yang pasti kapan Islam sampai. Akan tetapi ada beberapa petunjuk yang dapat dijadikan dasar Islam sampai ke pulau Dewata itu. Antara lain :
1. Dalam sejarah Sulawesi diterangkan bahwa Islam saat itu dijadikan agama resmi Kerajaan Gowa sehingga daerah-daerah yang di kuasainya, termasuk bali pasti disampaikan tentang Islam
2. Sejak Makassar berselisih dengan Kompeni belanda, pertempuran terjadi pada tahun 1653-1655 M. ini mengakibatkan banyak banyak nelayan Bugis pindah ke Bali, pasukan Gowa juga banyak yang mampir ke Bali.
3. Pada tahun 1690 M terjadi pertempuran antara penguasa ban Bukit di Singaraja yang bernama I Gusti Ngura Panji Sakti melawan pasukan Jembrana di bawah pimpinan Aryo Pancoran. Dalam pertempuran itu Aryo Pancoran menggunakan meriam Bugis
4. Pada tahun 1715 M, I Gusti Agung Alit Tekung yang menjadi penguasa di Jembrana banyak bekerjasama dengan umat Islam Bugis seperti Daeng Ma’rema dan daeng Kudadempet, keduanya adalah ahli silat yang dianggap sakti dan menjadi guru silat di Jembrana.
Dari sejumlah alasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Islam pada periode tersebut sudah sampai ke sana.
Pada abad ke XVII telah datang ke Bali dua orang ulama Arab, yaitu Sayid Muhammad Alaydrus. Oleh Raja Bali saat itu yaitu Ratu Dewa Agung Putera Susuhunan Raja yang menjadi penguasa Bali dan Lombok. Beliau di angkat menjadi penasehat Raja, betapapun Raja beragama Hindu tetapi sayid Muhammad Alaydrus tetap dapat bekerjasama dan dapat menyiarkan agama Islam. Yang ke dua adalah Sayid Ali bin Abu Bakar al-Hamid. Oleh Raja Kalungkung Bali diangkat menjadi Sekretaris Raja untuk urusan perdagangan dengan Bugis dan Makassar. Dengan tugas ini Sayid Ali dapat menyebarkan dakwah Islam.
Pada tahun 1719 M dari Pontianak sekelompok pasukan mendarat di Pantai Air Kuning yang sekarang di sebut Yeh Kuning di bawah pimpinan Syarif Abdurrahman al-Gadri. Bersamaan dengan itu datang pula ulama yang bernama Syarif Abdullah bin Yahya Maulana al-Gadri. Mereka membangun Masjid di Air Kuning yang sampai sekarang masih berdiri. Inilah peninggalan arkeologi tertua tentang Islam di Bali sekalipun bentuknya telah berubah karena pemugaran.
C.    Kesimpulan
Secara umum dapat disebutkan bahwa para pembawa agama Islam pertama kali ke wilayah Nusantara-Indonesia adalah para pedagang dan Muballigh dari Arab, Persia dan India. Mereka mengunjungi daerah-daerah pesisir nusantara yang berhubungan langsung dengan bandar-bandar perdagangan internasional. Aceh dengan kerajaan Perlak dan Pasai telah menjadi penyangga penyebaran Islam yang utama ke wilayah lainnya di Nusantara. Sebab ditemukan laporan bahwa hampir seluruh ulama yang menyebarkan Islam ke daerah lain adalah berasal atau paling tidak berguru ke kepada ulama yang ada di kedua kerajaan tersebut.
Setidaknya hingga pertengahan abad ke 15, umat Islam bukan saja telah menyebar luas keseluruh kepuluan Indonesia, bahkan secara sosial telah muncul menjadi agen perubahan sejarah yang penting. DR. Kuntowijoyo menyebutkan bahwa daya pikat utama agama baru ini adalah pada gagasan persamaannya, sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak ditemukan dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak biru untuk organisasi politico-ekonomi”, dan dengan ini sedang dipersiapkan jalan bagi terjadinya proses-proses perubahan struktural baru dari system agraris-patrimonial kearah persamaan dan pertumbuhan ekonomi atau “kapitalisme-politik”.
Dari cetak biru politico-ekonomi inilah, Islam menyentuh kalangan menengah pedagang pribumi memeluk agama Islam untuk berpartisipasi dalam komunitas moral perdagangan Muslim Internasional. Melalui Malaka yang sejak ahir abad ke 14 telah berkembang menjadi “entrepot-state” (Negara penyalur perdagangan lintas laut).
Dengan demikian hubungan perdagangan antar pulau di wilayah Nusantara semakin terbuka. Dan itu berarti memperluas jangkauan dakwah dan penyebaran Agama Islam. Para ulama – yang nota bene adalah para Sayid keturunan Rasulullah – yang sebagiannya menjadi Sultan atau paling tidak menjadi anggota keluarga kerajaan karena perkawinan dengan kerabat para raja menajdi leluasa dalam menyebarkan Islam. Hal inilah yang mempercepat proses islamisasi di wilayah kepulauan Nusantara-Indonesia.